Minggu, 30 Oktober 2011
IDUL KURBAN, PESAN SPIRIT BUDIDAYA
Oleh : Dadan Wahyudin
Idul Kurban memiliki dimensi spiritualitas sebagai bentuk ubudiah hamba dengan Tuhannya dan aspek sosial saling berbagi antarsesama. Makna Idul kurban mengandung pula ajaran tentang prinsip konservasi begitu sempurna. Pesan lainnya tentang spirit budidaya yang unggul dan sehat.
Bagi Cak Narto - penjual sate di daerah Pantura – apapun jenis pola budidaya ternak tak dirisaukannya. Cak Narto telah terbiasa mencari ternak apkir sebagai bahan baku usahanya. Dibenaknya, ternak apkir jauh lebih murah, toh kalau sudah dikuliti menjadi daging, hasil akhirnya sama yakni daging ternak normal. Tak heran, selain berburu ke pasar hewan, Cak Narto menerima domba apkir, seperti: cacat, kaki patah, atau picak bahkan kondisi sakit.
Standar budidaya
Meski Cak Narto meraup untung berlipat dari model usahanya, tetapi secara normatif cara demikian bukanlah cara elegan. Dalam pembangunan peternakan, penjualan ternak apkir tidak direkomendasikan. Sama halnya Idul Kurban, produk hewan harus memenuhi standar pokok kesempurnaan sesuai ajaran Rasulullah SAW yakni harus sehat, tidak cacat, jantan dan cukup umur. Dalam berkurban, hamba dipacu meraih pahala besar dengan mempersembahkan kurbannya mengacu pada kriteria di atas. Hewan kurban berkualitas baik memiliki postur tubuhnya standar, berpenampilan gagah, kondisi sehat, dan memiliki keutuhan dengan tidak cacat. Profil hewan kurban seperti ini tentu tidak dihasilkan secara kebetulan dan asal-asalan, melainkan dengan proses budidaya dilakukan secara sungguh-sungguh.
Bila dicermati, perilaku konsumsi masyarakat secara umum lebih menyukai produk sapi lokal seperti sapi Ongole, sapi Bali dan sapi Madura dalam berkurban dibanding sapi impor skala perusahaan, seperti: angus, limousine, atau simental. Bobot tubuh sapi lokal berkisar 350-500 kilogram secara ekonomi lebih terjangkau menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan ini. Faktor kedua, tradisi dan selera masyarakat terbentuk selama bertahun-tahun menyebabkan sapi lokal lebih familiar. Meski umumnya kepemilikan sapi lokal merupakan hasil budidaya peternak skala keluarga di pedesaan, produk hewan sehat dan berkualitas baik harus menjadi tujuan dalam budidaya. Sikap adaptif dan akomodatif terhadap inovasi serta membuka diri menjalin komunikasi dengan petugas penyuluh atau sesama peternak diperlukan dalam upaya menambah pengayaan informasi mengenai cara budidaya atau pemasaran yang lebih baik.
Untuk menghasilkan produk sapi dan domba memiliki kualitas sesuai harapan tentu dibutuhkan induk unggul. Pemilihan induk dapat berupa hasil seleksi melalui kegiatan menaksir, kontes ternak, atau merunut silsilah genetik orang tua (pedigree). Kini perbaikan mutu genetik sapi lokal dapat di-upgrade dengan penerapan program inseminasi buatan (IB). Melalui Satuan Pelayanan Terpadu (SPT) atau KUD, peternak memperoleh straw berisi sperma pejantan unggul produksi Balai Inseminasi. Kolaborasi antara petugas inseminator dan kejelian peternak mendeteksi gejala berahi sapi betina miliknya dapat meningkatkan keberhasilan IB dan efesiensi, yakni menekan penghamburan waktu dan tenaga.
Pemberian pakan merupakan faktor krusial keberhasilan budidaya. Kebutuhan pakan menempati cost operasional paling tinggi dalam kegiatan budidaya. Budidaya dalam pembesaran pedet misalnya, tak ubahnya ibarat mesin pabrik. Faktor pakan sebagai input produksi diolah kemudian menghasilkan output berupa penambahan bobot tubuh. Pada alam bebas, komposisi nutrisi secara lengkap telah disediakan alam. Ini dibuktikan bahwa ternak dilepas di padang pengembalaan (pasture) tidak memerlukan pakan tambahan sebagai penguat.
Tetapi pada ternak dibudidayakan dengan pola kereman (dipelihara dalam kandang), sangat tergantung pada pola pakan diberikan. Defesiensi terhadap zat tertentu, mengakibatkan pertumbuhan ternak terganggu. Setiap hari sapi memerlukan pakan 10 persen hijauan dan 1-2 persen pakan penguat dari bobot badannya. Kebiasaan menabung hijauan berupa hijauan kering (hay) dan silase dapat menjadi strategi peternak dalam menyiasati masa paceklik hijauan. Ternak kereman membutuhkan pakan penguat berupa dedak halus, bungkil kelapa, gaplek atau ampas tahu. Di samping itu, memerlukan pakan tambahan unsur mineral berupa garam dapur dan tepung tulang. Pemberian pakan berimbang ini secara signifikan memberikan produk budidaya memuaskan.
aspek kesehatan ternak
Faktor terakhir dalam budidaya yakni pemeliharaan kesehatan ternak. Hewan kurban harus sehat dan terbebas dari penyakit zoonosis menular bagi manusia. Penyakit hewan tidak bisa ditoleransi untuk dikonsumsi adalah apthae epizootika (PMK), bovine spongiform enchephalophaty (BSE/sapi gila) dan anthraks. Pesan ini mengingatkan para peternak dalam melakukan budidaya agar senantiasa memelihara kebersihan ternak maupun sanitasi kandang. Kandang harus memenuhi persyaratan pokok meliputi konstruksi, letak, ukuran dan perlengkapan kandang sehingga memberi rasa aman dan nyaman serta mudah dipantau. Tindakan biosecurity dengan desinfektan mesti menjadi program rutin dalam upaya preventif mencegah penyakit.
Kondisi fisik ternak harus diperhatikan agar senantiasa prima. Pemberantasan ektoparasit, memandikan ternak, pencukuran bulu dan pemberian vitamin harus menjadi bagian pemeliharaan kesehatan ternak. Begitupula sebagai ternak ruminansia, sapi dan domba mudah dijangkiti penyakit cacingan, di mana hijauan sebagai pakan merupakan media kondusif menempel telur cacing dan menjadi parasit di dalam tubuh ternak. Penyakit disebabkan berbagai jenis cacing ini berpotensi menurunkan bobot tubuh ternak dan dapat diberantas dengan pemberian obat cacing secara berkala.
Tindakan pemeliharaan kesehatan lainnya adalah karantina dan vaksinasi. Karantina diperlukan jika terdapat ternak yang sakit, dipisahkan untuk mendapatkan pengobatan. Sementara vaksinasi diberikan untuk memberi kekebalan tubuh (imun) terhadap jenis penyakit tertentu. Vaksinasi mutlak harus diberikan untuk mencegah risiko kerugian yang lebih besar akibat wabah penyakit mematikan.
Idul Kurban telah menjadi spirit dalam melakukan kegiatan budidaya lebih baik dan maju. Pola budidaya berorientasi pada produktivitas, efesiensi dan higienis menandakan suatu keberhasilan pembangunan peternakan khususnya ternak ruminansia. Berkat budidaya bermartabat, bukan saja memperhatikan aspek kesejahteraan ternak (animal welfare) sebagai keniscayaan menghasilkan hewan kurban ideal sesuai syariat, tapi juga memberi kualitas dan rasa aman untuk dikonsumsi manusia. (**)
Penulis, Dadan Wahyudin
Praktisi Peternakan
Langganan:
Postingan (Atom)